يَارَبِّ زِدْنِىْ عِلْمًا وَارْزُقْنِىْ فَهْمًا
Ya Allah, tambahkanlah aku ilmu dan berikanlah aku rizqi akan kepahaman
MUTIARA IBRIZ | Waktu demi waktu, Hari ke hari, Jumat ke Jumat, terus berganti. Majelis ilmu dan dzikir kali ini, tentu berbeda dengan Jumat sebelumnya. Semoga menjadi pembekalan diri berpulang kepada Allah SWT.
Renungkanlah syair yang ditulis Imam Syafi’i rahimahullah:
تزود من التقوى فانك لا تدري….اذا جن ليل هل تعيش الى الفجرِ
Berbekallah dengan takwa sesungguhnya engkau tak mengetahui
Jika malam telah gelap, apakah engkau kan tetap hidup hingga waktu fajar
فكم من فتى امسى واصبح ضاحكا … وقد نسجت اكفانه وهو لا يدري
Betapa banyak pemuda di sore dan siang hari ia tertawa
Sementara kain kafannya telah ditenun sedang ia tidak menyadarinya
وكم من صغار يرتجى طول عمرهم…وقد ادخلت اجسادهم ظلمة القبرِ
Betapa banyak anak-anak bayi yang diharapkan memiliki umur yang panjang
Ternyata jasad-jasad mereka telah dimasukkan dalam gelapnya kubur
وكم صحيح مات دون علة … وكم من سقيم عاش حينا من الدهرِ
Betapa banyak orang-orang yang sehat, ia mati tanpa sebab
Betapa banyak orang-orang yang sakit dapat hidup hingga waktu yang panjang
وكم من عروس زينوها لزوجها …. وقد قبضت ارواحهم ليلة القدر
Betapa banyak pengantin yang telah dirias tuk pasangan hidupnya
Sementara arwah-arwah mereka telah ditetapkan kematiannya pada malam lailatul Qadar
النفس تبكي على الدنيا ….وقد علمت ان السلامة فيها ترك مافيها .
Jiwa menangisi dunia
Sementara ia mengetahui bahwa tuk selamat darinya adalah meninggalkan apa yang ada di dalamnya.
ENAM RAHASIA
Umar bin Khattab mengungkapkan, ada enam perkara yang dirahasiakan Allah SWT kepada hamba-Nya.
Pertama, Allah merahasiakan ridha-Nya di balik ketaatan hamba-Nya.
Kedua, Allah merahasiakan murka-Nya terhadap hamba-Nya yang "berani" melakukan kemaksiatan.
Ketiga, Allah merahasiakan kapan datangnya malam kemuliaan atau Lailatul Qadar.
Keempat, Allah merahasiakan wali-Nya terhadap hamba-Nya.
Kelima, Allah merahasiakan datangnya ajal di balik umur hamba-Nya.
Keenam, Allah merahasiakan datangnya waktu shalat Wustha.
Poin kelima ini, maksudnya agar seorang hamba mempersiapkan diri dengan baik sepanjang hayatnya untuk menyambut kedatangan ajalnya. Bukankah kematian itu bisa datang secara tiba-tiba. Majelis Ilmu dan Zikir yang kita hadiri sekarang ini adalah dalam rangka menyiapkan bekal itu.
Urgensi Majelis Ilmu dan Zikir
Majelis ilmu dan zikir amatlah penting. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Ilmu tanpa zikir berbahaya, zikir tanpa ilmu akan tersesat.
Majelis-majelis ilmu dan dzikir berkembang di Makkah melalui halaqah-halaqah. Dikisahkan dulu ada dua halaqah (ilmu dan zikir) di tempat yang berbeda. Seorang Guru ingin mengajarkan kepada murid-muridnya tentang keadaan dua halaqah tersebut. Mulanya sang Guru melempar batu ke tengah-tengah halaqah ilmu. Maka seluruh orang yang ada di halaqah tersebut berteriak-teriak, mencaci maki dengan kata-kata yang kasar.
Lalu Guru tersebut melempar batu ke tengah-tengah sekumpulan orang yang sedang asyik berdzikir. Diantaranya ada yang sedang mengalami Fana (melebur nafsu dalam Perbuatan Allah). Maka ketika dilempar batu atas mereka, justru menambah khusyu'.
Begitulah, Akal diasah di majelis ilmu, sedangkan hati diasah di majelis zikir. Bukan berarti Majelis zikir lebih penting daripada majelis ilmu. Majelis zikir ibarat lampu mobil, sedangkan majelis ilmu ibarat rambu-rambu. Jika salah satu tidak ada, maka perjalanan di malam hari menjadi amat sulit dan tidak sampai kepada tujuannya. Dengan kata lain, malah bisa celaka.
Banyak ilmu (tahu halal haram) tapi hatinya gelap (dikuasai nafsu). Akhirnya yang halal menjadi haram, dan haram menjadi halal. Saat ini ilmu pengetahuan berlimpah. Namun tanpa hati yang diterangi cahaya illahi, justru berbuah petaka. Buka internet masuk search engine, maka ilmu yang dicari pun akan bermunculan.
Ilmu dari Sisi Allah
Firman Allah SWT:
فَوَجَدَا عَبۡدٗا مِّنۡ عِبَادِنَآ ءَاتَيۡنَٰهُ رَحۡمَةٗ مِّنۡ عِندِنَا وَعَلَّمۡنَٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلۡمٗا
"Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami." (Q.S. Al-Kahfi [18]: 65)
Ayat ini mengisahkan perjumpaan Nabi Musa As bersama asistennya Yusa bin Nun dengan Nabi Khidir As yang dikaruniai Ilmu Laduni. Ilmu ada yang diusahakan (muktasab) melalui proses belajar mengajar dan yang datang dari sisi Allah dengan cara yang lain. Ilmu Laduni adalah ilmu yang diberikan ke dalam hati seseorang. Ilmu ini adalah ilmu yang luar biasa sehingga Nabi Musa As selaku Rasul Ulul Azmi tercengang dengan apa yang ia saksikan.
Dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah ﷺ bersabda, “Pada suatu ketika Musa berbicara di hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’
Dengan ucapan itu, Allah mencelanya, sebab Musa tidak mengembalikan pengetahuan suatu ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, ‘Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba yang berada di pertemuan antara laut Persia dan Romawi, hamba-Ku itu lebih pandai daripada kamu!’
Musa bertanya, ‘Ya Rabbi, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya?’ Maka dijawab, “Bawalah seekor ikan yang kamu masukkan ke dalam suatu tempat, di mana ikan itu menghilang maka di situlah hamba-Ku itu berada!’
Kemudian Musa pun pergi. Musa pergi bersama seorang pelayan bernama Yusya’ bin Nun. Keduanya membawa ikan tersebut di dalam suatu tempat hingga keduanya tiba di sebuah batu besar. Mereka membaringkan tubuhnya sejenak lalu tertidur. Tiba-tiba ikan tersebut menghilang dari tempat tersebut. Ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut. Musa dan pelayannya merasa aneh sekali.
Lalu keduanya terus menyusuri dari siang hingga malam hari. Pada pagi harinya, Musa berkata kepada pelayannya,
آتِنَا غَدَاءنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا نَصَباً
‘Bawalah ke mari makanan kita. Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.’ (QS. Al-Kahfi: 62)
Musa berkata,
ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصاً
‘‘Itulah tempat yang kita cari,’ lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.’ (QS. Al-Kahfi: 64)
Setibanya mereka di batu tersebut, mereka mendapati seorang lelaki yang tertutup kain, lalu Musa memberi salam kepadanya
Khidir (orang itu) bertanya, ‘Berasal dari manakah salam yang engkau ucapkan tadi?’
Musa menjawab, ‘Aku adalah Musa.’ Khidir bertanya, ‘Musa yang dari Bani Israil?’ Musa menjawab, ‘Benar!’
هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْد. قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً
‘‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.’‘ (QS. Al-Kahfi: 66–67)
Khidir berkata, ‘Wahai Musa, aku ini mengetahui suatu ilmu dari Allah yang hanya Dia ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak mengetahuinya. Sedangkan engkau juga mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah kepadamu saja, yang aku tidak mengetahuinya.’
Musa berkata,
سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً
‘Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun.’ (QS. Al-Kahfi: 69)
Kemudian, keduanya berjalan di tepi laut. Tiba-tiba lewat sebuah perahu. Mereka berbincang-bincang dengan para penumpang kapal tersebut agar berkenan membawa serta mereka. Akhirnya, mereka mengenali Khidhir, lalu penumpang kapal itu membawa keduanya tanpa diminta upah (tiket).
Tiba-tiba, seekor burung hinggap di tepi perahu itu, ia mematuk (meminum) seteguk atau dua kali teguk air laut. Kemudian, Khidhir memberitahu Musa, ‘Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu tidak sebanding dengan ilmu Allah, kecuali seperti paruh burung yang meminum air laut tadi!’
Khidhir lalu menuju salah satu papan perahu, kemudian Khidhir melubanginya. Melihat kejanggalan ini Musa bertanya, ‘Penumpang kapal ini telah bersedia membawa serta kita tanpa memungut upah, tetapi mengapa engkau sengaja melubangi kapal mereka? Apakah engkau lakukan itu dengan maksud menenggelamkan penumpangnya?’
Khidhir menjawab,
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً. قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْراً
‘Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku.’ Musa berkata, ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.’’ (QS. Al-Kahfi: 72–73)
Itulah sesuatu yang pertama kali dilupakan Musa, kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Keduanya bertemu dengan seorang anak laki-laki sedang bermain bersama kawan-kawannya. Tiba-tiba Khidhir menarik rambut anak itu dan membunuhnya.
Melihat kejadian aneh ini, Musa bertanya,
أَقَتَلْتَ نَفْساً زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْئاً نُّكْراً
‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.’ (QS. Al-Kahfi: 74)
Khidhir menjawab,
أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِي صَبْراً
‘Bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?’ (QS. Al-Kahfi: 75)
Maka, keduanya berjalan. Hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh.
فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْر. قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْراً
‘Khidhir berkata bahwa, melalui tangannya, dia menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidhir berkata, ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.’‘ (QS. Al-Kahfi: 77–78).
Semoga Allah menganugerahkan rahmat kepada Musa ‘alaihis salam. Tentu, kita sangat menginginkan sekiranya Musa dapat bersabar sehingga kita memperoleh cerita tentang urusan keduanya.” (HR. Al-Bukhari no. 122 dan Muslim no. 2380)
Silakan Klik
Niat Ikhlas
Proses mendapatkan ilmu Laduni adalah dengan jalan taqwa. Dalam akhir ayat yang panjang Allah berfirman, .... wattaqullaha wayu'allimukumullah (Bertaqwalah kepada Allah niscaya Allah mengajarkan kalian) [Q.S. Al Baqarah [02] : 282]
Malik bin Dinar berkata,
من طلب العلم للعمل وفقه الله ومن طلب العلم لغير العمل يزداد بالعلم فخرا
“Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) untuk diamalkan, maka Allah akan terus memberi taufik padanya. Sedangkan barangsiapa yang mencari ilmu, bukan untuk diamalkan, maka ilmu itu hanya sebagai kebanggaan (kesombongan)” (Hilyatul Auliya’, 2: 378).
‘Abdul Wahid bin Zaid berkata,
من عمل بما علم فتح الله له ما لا يعلم
“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang telah ia pelajari, maka Allah akan membuka untuknya hal yang sebelumnya ia tidak tahu.” (Hilyatul Auliya’, 6: 163).
Imam al Ghazali mengarang kitab Bidayatul Hidayah membahasa cara mencapai Hidayah. Jadi, Output (ujung) suatu ilmu bergantung bagaimana memulainya. Maka mulailah dengan keikhlasan, kebersihan hati. Sehingga ketika mengamalkannya ilmu semakin bertambah, berkembang dan bermanfaat.
Pada 1994 buku Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq ini, memperoleh penghargaan King Faisal Prize dalam Kategori Kajian Islam.
Dengan kelengkapan kandungannya, buku ini sangat tepat menjadi salah satu referensi Anda.
Penerbit Al-’Itishom Cahaya Umat
Beberapa alasan mengapa memilih Fiqih Sunah Terbitan Al-Itishom
1. Kwalitas terjemah terbaik di kelasnya, berdasarkan pengakuan Dr. Taufiq Hulaimi MA (Pakar fiqih lulusan Al-Azhar)
2. Harga termurah.
3. Kertas ringan.
4. dll.
Penulis: Syaikh Sayyid Sabiq
Harga
Rp.460.000
(Belum termasuk Ongkir/Penagihan)
Bisa dicicil 3 kali :
Khusus Jakarta, Tasik, Magelang dan Yogya
Pesan sekarang juga…
Hubungi:
Andi Purnama
081229088016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar