Foto Kabah zaman dulu | Internet |
Banyak cerita seperti ini. Bahkan yang jauh lebih dramatis. Dengan segala keterbatasan, Allah izinkan untuk memenuhi undanganNya beribadah haji di Tanah Suci
Mutiara Ibriz | “Hari ini terakhir dagang Mi. Besok sudah libur,” katanya ramah. Semua pembelinya memang dipanggil Umi.
Dia menamai warung nasi uduknya “Umi Abie”. Jualannya hanya di pagi hari. Mulai jam 5.30 sampai habis. Tapi biasanya juga tak lama.
Selama bulan Ramadhan, warungnya tutup full sebulan. “Ramadhan waktunya ibadah, Mi. Masak dagang terus. Libur sebulan, biar bisa fokus ibadah,” katanya menjelang Ramadhan lalu.
Saya terkesan. Bukan karena nasi uduk jualannya istimewa. Saya bahkan belum pernah makan nasi uduknya, karena sudah membatasi makanan bersantan.
Tapi terlihat sekali usahanya itu penuh keberkahan. “Anak saya yang paling besar di PLN. Yang nomer dua wiraswasta. Yang ketiga baru keterima di UIN Bandung. Besok saya harus ke Bandung urus sekolahnya,” ceritanya sambil sibuk melayani pembeli.
Mulai hari ini, ia akan libur dagang lebih dari 2 bulan. Karena Allah memanggil menjadi tamuNya tahun ini. “InsyaAllah berangkat akhir bulan. Doanya ya, Mi,” tanggapnya.
Hasil dagang nasi uduk itu yang digunakan untuk membayar ONH tujuh tahun lalu. “Antreannya cepet juga ya?” Tanya saya.
“Alhamdulillah. Mungkin memang rezeki, Mi.”
Banyak cerita seperti ini. Bahkan yang jauh lebih dramatis. Dengan segala keterbatasan, Allah izinkan untuk memenuhi undanganNya beribadah haji di Tanah Suci.
Sebab, Allah bukan memanggil yang mampu. Tapi, Allah memampukan yang dipanggilNya.
Mulai hari Sabtu (6/7) kemarin, kloter pertama jamaah haji Indonesia 2019 telah diberangkatkan dari Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur.
Terdiri dari Kabupaten Magetan sebanyak 445 orang, Ngawi sebanyak 315 orang, Ponorogo sebanyak 62 orang, dan Kota Surabaya sebanyak 68 orang.
Pemberangkatan perdana itu menandai dimulainya gelombang penerbangan yang akan berakhir hingga Agustus nanti. Sekitar 231 ribu jamaah haji dari Indonesia yang mendapat undangan dari Allah tahun ini.
Jumlah jamaah haji ini tak pernah surut dari tahun ke tahun, sejak zaman kolonial. Sekalipun dengan segala cara pemerintah Belanda mencoba mempersulitnya.
Bagi pemerintah Belanda, kafilah haji adalah ancaman. Muktamar akbar yang mempertemukan umat Islam sedunia akan membuka pikiran tentang hakikat penjajahan.
Dimulai dari gerakan kaum Padri sekembali dari Tanah Suci ke Minangkabau pada 1803. Pemerintah kolonial Belanda mulai terusik dengan perubahan yang dibawa.
Ada potensi para haji ini akan mendorong angin kebebasan di kampung halamannya. Sejak saat itu Belanda mulai mengawasi dengan ketat urusan haji. Pada 1825 diberlakukan bermacam peraturan yang memberatkan.
Salah satunya adalah biaya untuk mengurus paspor yang mencekik. Sebesar 110 gulden. Lalu monopoli angkutan haji. Dengan hanya memberikan izin pada tiga perusahaan, yakni Rotterdamsche Llyod, Stoomvaartmatschappij Nederland, dan Stoomvaartmatschappi Oceaan pada 1873.
Sebelumnya, kapal angkutan haji dari Nusantara ini dimiliki oleh saudagar Arab dan perusahaan-perusahaan pelayaran dari Inggris.
Tiket perjalanan pun harus dibeli PP. Sehingga terkontrol, kapan jamaah haji itu akan kembali. Tercatat datanya. Karena semua dokumen perjalanan harus ditandatangani berjenjang.
Dari para penguasa lokal atau pegawai pangreh praja, hingga ke pelabuhan embarkasi yang telah ditentukan dan ditandatangani oleh penguasa pelabuhan.
Sesampainya di Jeddah pun, kafilah haji ini harus melapor ke Konsulat Belanda untuk menukar paspornya dengan semacam izin tinggal sementara.
Saking rincinya, dokumen ini tak hanya menuliskan basic informasi, seperti nama, daerah asal, jenis kelamin dan seterusnya.
Namun juga mendiskripsikan dengan detail ciri-ciri fisik, seperti bentuk hidung, mata, mulut, bahkan kumis dan panjang jenggot!
Jangan kira urusan selesai setelah jamaah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Sekembali ke Tanah Air, mereka masih harus dikarantina di Pulau Onrust yang terletak di kepulauan Seribu.
Alasan pemerintah Belanda adalah untuk skrining penyakit. Setelah berlayar selama 2-6 bulan, dikhawatirkan ada penyakit pes, kolera atau lepra yang akan ditularkan.
Tapi, sebenarnya tujuan utamanya bukan itu. Pemerintah Belanda berkepentingan untuk mendata dan “mencuci otak” para khafilah haji ini.
Ada semacam “tes” untuk melihat adakah perubahan pola pikir sekembali dari Tanah Suci. Adakah bibit-bibit menentang kolonialisme.
Setelah lolos “tes”, jamaah haji diizinkan untuk kembali ke daerah masing-masing. Dengan catatan, bila sampai terjadi potensi pemberontakan, para haji inilah yang akan ditangkap terlebih dulu.
Lamanya karantina di Pulau Onrust tergantung kebutuhan. Bisa 5 hari atau kalau ada rombongan yang sakit, maka semua harus menunggu sampai yang sakit sembuh dan bersama-sama dipulangkan ke daerahnya.
Beberapa tahun lalu saya pernah ke Pulau Onrust ini. Masih ada reruntuhan bangunan yang dulunya digunakan sebagai embarkasi haji.
Ada 35 barak penampungan haji dengan kapasitas 100 orang setiap baraknya. Yang digunakan dari tahun 1911-1933.
Jangan bayangkan ini seperti Asrama Haji Pondok Gede atau asrama haji di daerah lain. Menurut cerita penduduk setempat yang didengar dari kakek-nenek buyutnya, penampungan ini lebih mirip penjara atau kamp konsentrasi.
Bahkan yang menyedihkan, jamaah haji yang sakit sampai meninggal akan dimakamkan secara “asal”. Tidak menghadap kiblat. Makam-makam ini ada di Pulau Bidadari dan Pulau Kelor yang berseberangan dengan Pulau Onrust.
Haji dari masa ke masa selalu sarat dengan banyak kepentingan penguasa. Dari kepentingan politik, hingga motif ekonomi kini.
Namun itu tak menyurutkan keinginan dan keikhlasan orang-orang seperti Abi si penjual nasi uduk. Dan dua ratusan ribu jamaah yang akan berangkat tahun ini. Serta jutaan yang masih berada dalam antrean daftar tunggu.
Saya selalu klayu (pengin ikut lagi, dalam bahasa Jawa) tiap kali musim haji tiba. Kerinduan akan jamuan wuquf di Arafah adalah kerinduan yang tak akan pernah tuntas sepanjang manusia masih bernapas.
Seperti syair yag ditulis Muhammad as-Syinqithi dalam kitabnya Syudzur adz-Dzahab, “Terdorong sekali keinginanku bersujud dan menahan beberapa saat untuk tidak mengangkat keningku di tanah yang pernah disentuh Nabi. Tangisan ini bukanlah tangisan karena kehilangan kekasih. Ini tangis kerinduan pada Tanah Suci.”
Fii amanillah yaa Dzuyufurrahman…
Jakarta, 8/7/2019
Silakan Klik
Lengkapi Kebutuhan Anda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar