Pohon kurma di halaman masjid Al Fattah Tasikmalaya | Ilustrasi - Instagram |
Mutiara Ibriz | Ini adalah sebuah kisah seorang sahabat Nabi Muhammad ﷺ bernama Abu Dujanah. Begitu selesai shalat berjemaah subuh bersama Baginda Nabi ﷺ, Abu Dujanah langsung beranjak pergi . Ia terburu-buru pulang tanpa menunggu pembacaan doa yang dipanjatkan Rasulullah ﷺ tuntas.
Kebiasaan ini terpantau oleh Rasulullah ﷺ hingga disuatu kesempatan, Rasulullah ﷺ menegur Abu Dujanah.
"Apakah kamu ini tidak butuh, permintaan yang perlu kamu sampaikan pada Allah sehingga kamu tidak pernah menungguku selesai berdoa. Kenapa kamu buru-buru pulang begitu? Ada apa?” tanya Nabi ﷺ dengan bijak tanpa meninggalkan ketegasannya.
Abu Dujanah menjawab, “ Ya Rasulullah, saya ada kendala.”
“Apa kendalanya, cobaba kamu jelaskan!” ujar Baginda Nabi ﷺ.
“Begini...,” kata Abu Dujanah memulai menguraikan alasannya.
Rumah kami, lanjutnya, bersebelahan dengan rumah seorang laki-laki. Di atas pekarangan rumah milik tetangga kami ini, terdapat satu pohon kurma menjulang, dahannya menjuntai ke rumah kami. Setiap kali ada angin bertiup di malam hari, kurma-kurma tetanggaku tersebut saling berjatuhan, jatuh di rumah kami.
“Ya Rasul," ujarnya tersedan.
Abu Dijanah melanjutkan, "Kami keluarga orang yang tak berpunya. Anakku sering kelaparan, kurang makan. Saat anak-anak kami bangun, apa pun yang didapati ada, mereka makan. Oleh kerana itu, setelah selesai shalat, kami bergegas segera pulang sebelum anak-anak kami tersebut terbangun dari tidurnya. Kami kumpulkan kurma-kurma milik tetangga kami tersebut yang berceceran di rumah, lalu kami serahkan kepada pemiliknya,"
Abu Dujanah, berusaha tidak menampakkan kesedihan di hadapan Rasulullah ﷺ.
"Pernah suatu ketika, kami agak terlambat pulang. Ada anakku yang sudah terlanjur makan kurma yang itu. Mata kepala saya sendiri menyaksikan, nampak ia sedang mengunyah kurma basah di dalam mulutnya. Ia habis memungut kurma yang telah jatuh di rumah kami semalam.
Mengetahui itu, lalu jari-jari tangan ini aku masukkan ke mulut anakku itu. Aku keluarkan apa pun yang ada di sana. Aku katakan, "Nak, janganlah kau permalukan ayahmu ini di akhirat kelak!"
Anaknya itu mengiba, kedua pasang kelopak matanya mengalirkan air mata.
Pagi yang lapar dan perih.
Wahai Baginda Nabi, Aku katakan kepada anakku itu, "Hingga nyawamu lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram dalam perutmu. Seluruh isi perut yang haram itu, akan aku keluarkan dan akan aku kembalikan bersama kurma-kurma yang lain kepada pemiliknya yang berhak!”
Pandangan mata Rasulullah ﷺ mulai membentuk kolam, lalu butiran air mata mulianya berderai satu satu dan menderas.
Setelah itu Rasulullah ﷺ pun mencari tahu siapa sebenarnya pemilik pohon kurma yang dimaksud Abu Dujanah. Abu Dujanah pun menjelaskan, pohon kurma tersebut adalah milik seorang laki-laki yang ciri-cirinya begini dan begitu.
Baginda Nabi ﷺ mengundang pemilik pohon kurma. Rasulullah mengatakan, “Bolehkah jika aku meminta Anda menjual pohon kurma yang kamu miliki itu? Aku akan membelinya dengan sepuluh kali ganda dari pohon kurma itu sendiri. Pohonnya terbuat dari batu zamrud berwarna biru. Disirami dengan emas merah, tangkainya dari mutiara putih. Di situ tersedia bidadari yang cantik jelita sesuai dengan hitungan buah kurma yang ada.”
Demi mendengar tawaran Rasulullah ﷺ lelaki yang dikenal sebagai orang munafik ini lantas menjawab ketus, “Saya tak pernah berdagang dengan orang yang berjanji manis. Saya tidak mau menjual apa pun kecuali dengan uang kontan saja."
Tiba-tiba Abu Bakar as-Shiddiq ra maju, “Oke, aku beli dengan sepuluh kali ganda dari tumbuhan kurma milik Pak Fulan yang kualitasnya tidak ada bandingnya di kota ini (lebih bagus jenisnya).”
Si munafik kegirangan, “Baiklah.., aku jual.”
Abu Bakar menyahut, “Bagus, aku beli.” Setelah sepakat, Abu Bakar menyerahkan pohon kurma kepada Abu Dujanah langsung saat itu juga.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Abu Bakar, aku yang menanggung gantinya untukmu.”
Mendengar sabda Nabi ini, Abu Bakar bergembira bukan main. Begitu pula Abu Dujanah.
Sedangkan si munafik berlalu. Ia berjalan mendatangi istrinya. Lalu mengisahkan kisah yang baru saja terjadi. “Asik... aku telah mendapat untung banyak hari ini. Aku dapat sepuluh pohon kurma yang lebih bagus. Padahal kurma yang aku jual itu masih tetap berada di pekarangan rumahku. Aku tetap yang akan memakannya lebih dulu dan buah-buahnya pun tidak akan pernah aku berikan kepada tetangga kita itu sedikit pun.”
Dasar munafik, lain di mulut lain di hati.
Malamnya saking kegirangan si munafik langsung tertidur mimpi indah melengkapi nyenyaknya. Puas banget bisa mengelabui Rasulullah ﷺ. Tapi, berapalah lamanya mimpi, kebahagian yang sekejap dan kosong.
Ketika melek di pagi harinya, ia tak percaya dengan bola matanya sendiri. Ajib, pohon kurma yang ia miliki berpindah posisi, kini berdiri di atas tanah milik Abu Dujanah. Tanpa bekas, seolah-olah tak pernah sekalipun tampak pohon tersebut tumbuh di atas tanah si munafik. Tempat asal pohon itu tumbuh, rata dengan tanah. Ia hanya bisa melongo, mengucek-ucek mata dan kembali melongo. Heran bukan buatan.
Salman Al Farizi | Kisah di atas disarikan dari kitab I’anatuth Thâlibîn (Beirut, Lebanon, cet I, 1997, juz 3, halaman 293) karya Abu Bakar bin Muhammad Syathâ ad Dimyatîy (w. 1302 H).
Silakan Klik
Lengkapi Kebutuhan Anda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar