Mutiara Ibriz | Senin (15/7), Mbah Nun bersilaturahmi dengan guru-guru Sekolah Kharisma Bangsa di Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan. Sebenarnya, lokasinya masih cukup dekat dijangkau dari Jakarta, tetapi secara geografis sudah masuk wilayah Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Acara silaturahmi ini diadakan secara internal, di sebuah aula lantai empat asrama putra sekolah Kharisma Bangsa.
Mbah Nun sendiri memang memiliki hubungan yang dekat dengan yayasan yang mengelola sekolah ini. Putra-putri Mbah Nun dan Ibu Via juga bersekolah di sekolah yang dinaungi yayasan yang sama dengan Kharisma Bangsa. Beberapa guru dari sekolah yang berada di bawah yayasan yang sama ini, sudah bersilaturahmi dengan Mbah Nun, baik di Rumah Maiyah Kadipiro, maupun di Maiyahan seperti di Kenduri Cinta beberapa tahun yang lalu. Mbah Nun juga berperan dalam memerjuangkan agar beberapa guru-guru asal Turki di sekolah ini mendapatkan status legal dan resmi sebagai Warga Nasional Indonesia.
“Ada orang yang pintar dunia, bodoh akhirat. Ada orang yang bodoh dunia, tapi pintar akhirat. Ada orang yang pintar akhirat dan juga sekaligus pintar dunia. Dan ada orang yang bodoh dunia, juga bodoh akhirat. Nah, kita berlindung kepada Allah agar tidak menjadi golongan yang keempat itu”, Mbah Nun mengawali.
Empat terminologi itu disampaikan oleh Mbah Nun sebagai pengantar. Mbah Nun menyampaikan kepada para guru yang hadir untuk mampu menjelaskan kepada murid-murid di sekolah Kharisma Bangsa ini bahwa kehidupan manusia tidak selesai hanya dengan kematian. Bahwa masih ada kehidupan yang lain setelah manusia dikubur nanti. Jika diibaratkan dengan proses metamorphosis ulat menjadi kupu-kupu, bisa jadi kehidupan manusia di dunia adalah seperti kehidupan ulat, yang pekerjaannya adalah melata-lata dan memakan dedaunan. Dan ketika usai masa tugas di dunia, kita akan dikubur. Bisa jadi, ketika kita dikubur itulah kita mengalami proses seperti ulat menjadi kepompong, hingga akhirnya nanti ia menjadi kupu-kupu. “Karena hidup kita itu abadi”, lanjut Mbah Nun.
Berbicara konteks pendidikan, Mbah Nun menceritakan tentang Maiyahan yang hampir setiap malam dilakukan oleh anak-anak Maiyah, di berbagai tempat, dengan berbagai skalanya masing-masing. Kalau berbicara tentang pendidikan, maka Maiyahan juga termasuk dalam wilayah pendidikan. Semangat yang dibangun di Maiyahan adalah semangat untuk sinau bareng, belajar bersama. Apa saja dipelajari bareng-bareng, dicari titik temunya, diurai masalahnya.
“Kita harus mampu menemukan ayat-ayat yang tidak difirmankan”, Mbah Nun melanjutkan.
Bahwa sebenarnya, Allah tidak pernah berhenti berfirman. Persoalannya, firman Allah hanya dipahami sebatas pada ayat-ayat Al-Qur`an yang sudah dikumpulkan dalam teks Al-Qur`an saja. Padahal, ayat-ayat Allah itu tidak terbatas hanya Al-Qur`an. Maka, pendidikan seharusnya juga memiliki kecenderungan untuk menumbuhkan kesadaran para murid untuk mencari ayat-ayat yang tidak difirmankan Allah.
Lebih mengerucut, Mbah Nun menyampaikan bahwa pendidikan seharusnya mengantarkan para murid untuk menjadi seperti apa yang Allah kehendaki pada dirinya. Pendidikan seharusnya tidak berusaha menyeragamkan anak-anak untuk menjadi satu bentuk yang sama. Jika ada anak yang tidak cakap dalam bidang matematika, maka itu bukan merupakan sebuah aib atau sesuatu yang buruk, apalagi dianggap sebagai anak yang tidak berpestasi. Karena bisa jadi memang ia tidak berbakat di bidang matematika, tetapi berbakat di bidang kesenian, misalnya.
Dalam kaitannya penggalian bakat ini, Mbah Nun mengajak para guru untuk memahami matriks hukum Islam; wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Pada setiap jengkal proses pendidikan yang dijalani di sekolah Kharisma Bangsa, Mbah Nun berpesan agar setiap guru mampu menakar mana yang kira-kira wajib, mana yang sunnah, mana yang mubah, mana yang makruh dan mana yang haram. Takarannya tentu berbeda-beda bergantung pada apa yang dihadapi oleh para guru ketika menangani murid-muridnya.
Maka, yang tetap harus kita lakukan adalah ingat kepada Allah, dalam situasi apapun, dalam kondisi apapun. Alladziina yadzkuruunallah qiyaaman wa qu’uudan wa ‘alaa junuubihim wa yatafakkaruuna fi khalqi-s-samaawaati wa-l-ardli, mereka yang selalu mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, tidur dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Mbah Nun mengajak guru-guru untuk mentadabburi Surat Ali ‘Imron ayat 191 ini. Bahwa Allah tidak mempersyaratkan apapun kepada kita dalam mengingat-Nya.
Setiap manusia memiliki kebebasan untuk menemukan sendiri kenyamanannya dalam mengingat Allah
Apapun keadaan kita, sedang bahagia, sedang susah, sedang tersenyum, sedang marah, sedang sehat, sedang sakit, sama sekali tidak ada batasan dari Allah sebagai syarat untuk mengingat-Nya. Sementara kecenderungan masyarakat kita hari ini adalah pembatasan demi pembatasan, membangun pagar-pagar baru, menghakimi, menjustifikasi mana yang salah mana yang benar. Padahal seharusnya, setiap manusia memiliki kebebasan untuk menemukan sendiri kenyamanannya dalam mengingat Allah.
Berbicara tentang profesi menjadi seorang guru, Mbah Nun menyampaikan bahwa seorang guru adalah profesi yang tingkatnya berada pada posisi manusia nilai. Manusia nilai berbeda dengan manusia pasar, apalagi manusia istana. Manusia nilai adalah manusia ilmu. Maka seorang guru itu seperti seorang Nabi yang memang tugasnya adalah menyampaikan nilai. Seorang guru tidak mungkin menyeragamkan para murid di sekolah untuk menjadi satu bentuk yang sama. Seorang guru harus mampu menemukan masing-masing kemampuan dari muridnya, untuk kemudian membebaskan para murid memaksimalkan potensinya, sehingga kreativitas para murid akan menghasilkan prestasi yang membanggakan.
Mbah Nun mengibaratkan, Nabi Ibrahim As itu diperintahkan untuk menghancurkan berhala dan tidak diperintah untuk menggantikan Namrud. Begitu juga dengan Nabi Musa As, hanya diperintahkan untuk memperingatkan Fir’aun tidak untuk melengserkan Fir’aun kemudian menggantikannya berkuasa. Maka, ada nilai yang mulia pada peristiwa-peristiwa kenabian itu. Begitu juga dengan pekerjaan para guru, karena guru adalah manusia nilai, maka jangan sampai seorang guru memiliki jiwa manusia pasar apalagi manusia istana.
Jika guru menjadi manusia pasar, maka yang menjadi fokus utama hidupnya adalah berhitung berapa banyak uang yang akan ia dapatkan dari profesi sebagai guru. Jika seorang guru menjadi manusia istana, maka fokus utama hidupnya adalah meniti karier di sekolah, sehingga yang diincar adalah jabatan-jabatan yang menunjang kariernya. Apakah salah seorang guru memikirkan gaji? Tentu tidak. Apakah salah juga seorang guru memikirkan karier jabatan di sekolah? Tidak juga.
Mbah Nun kemudian mencontohkan, bahwa sering kali ditraktir orang di sebuah rumah makan, bahkan pernah suatu kali ketika baru turun dari pesawat, dan keluar dari pintu bandara, Mbah Nun dipaksa oleh seseorang untuk diantarkan ke tempat tujuan dengan syarat mau ditraktir makan di rumah makan yang paling enak. Sudahlah diantar ke tempat tujuan, setelah itu diajak makan yang paling enak.
Dijelaskan oleh Mbah Nun, bahwa makan enak dan kendaraan yang nyaman itu bukan tujuan utama. Itu hanya media, alat. Tujuan utamanya adalah menjalin tali silaturahmi. Begitu juga dengan seorang guru, harus memilki tujuan utama menjadi pendidik yang mengantarkan murid untuk menjadi seperti yang Allah kehendaki. Bahwa kemudian seorang guru mendapat gaji, atau kemudian juga diberi amanah untuk menduduki jabatan tertentu di sekolah, itu merupakan sarana untuk menjadikan pengabdiannya di sekolah itu lebih baik lagi, sehingga kualitas pendidikan di sekolah pun akan mendapat manfaat yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
“Maka bersyukurlah Anda menjadi seorang guru, karena menjadi seorang guru maka Anda adalah manusia nilai”, pungkas Mbah Nun.
Silaturahmi di Kharisma Bangsa ini tidak bisa berlama-lama, karena ini bukan Maiyahan seperti biasanya. Menjelang maghrib, acara pun segera dipungkasi.
Silakan Klik:
💥💖💢 Mutiara-Store 💢💖💥
Lengkapi Kebutuhan Anda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar